RUANG POJOK ANAK NAKAL


Pagi itu Desa Sumbing sangatlah ramai, orang berlalu-lalang untuk mengunjungi pasar, berebut sayuran yang masih segar. Desa ini masih alami dan jauh sekali dari polusi udara perkotaan. Penduduk di Sumbing cukup banyak, salah satunya Ade dan dua rekannya yaitu Dodi dan Lintang. Ketiga pemuda itu bersiul-siul melewati lorong-lorong pasar yang gelap dan masih sepi, karena memang jam buka pasar yang berbeda-beda.

Ketiga bocah itu benar-benar tidak melakukan apapun setiap harinya. Hanya makan, minum, dan bermain. Baginya hidup itu simpel saja tidak perlu klimaks dan sebagainya.
Seperti biasa, mereka bermain layangan di Lapangan satu-satunya Desa Sumbing. Tetapi mereka terlalu bosan melakukannya.
            “Kalian masih betah saja bermain layangan setiap hari. Hidup kita terlalu datar kawan!” sindir Lintang.
            “Lantas kita harus melakukan apa?” balas Ade.
            “Kita harus melakukan hal yang menantang, seperti berbuat nakal” ujar Dodi sambil menyeringai.
Mereka berfikir sejenak dan memutuskan meninggalkan layangan. Trio itu butuh udara segar hari ini.

Ketika Ade, Dodi, dan Lintang sedang berjalan melintasi gang kecil, mereka melihat seorang pemulung paruh baya sedang mencari sisa-sisa makanan di tempat sampah. Ade pun mendapat ide dan memulainya.
            “Hey pemulung kau itu menjijikan sekali, tidak pantas ada di Desa ini, yang ada kamu akan menjadi sampah masyarakat, pergi sana!” bentak Ade sambal tertawa. Teman-temanya yang lain pun juga ikut mengolok-olok pemulung tadi. Wajah pemulung itu terlihat sedih dan berkaca-kaca, tetapi mereka tetap tertawa tanpa belas kasihan. Itu merupakan kenakalan pertama mereka.

Pagi itu cukup panas, walaupun matahari belum naik sepenuhnya tetapi keringat sudah mengucur deras. Dodi mengajak teman-temannya nongkrong di warung Bu Suji. Tempat itu cukup dikenal banyak warga. Konon katanya warung itu tempat mangkalnya para pencopet. Ketiga anak itu menduduki salah satu bangkunya dengan santai.

Tiba-tiba datanglah empat orang berbadan kekar. Di badannya banyak tempelan tato dan tindik, trio itu santai saja melihatnya, tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Dodi mulai tersenyum jahil kepada temannya. Ade dan Lintang pasti tahu apa maksud senyuman Dodi. Ketika empat preman itu sedang memesan kopi, Dodi angkat bicara.
            “Hey preman cebol, ada-ada saja kalian ini. Sudah jelek berbau lagi wihh hidup lagi!” Dodi tertawa lepas dan diikuti gelak tawa Ade dan Lintang.
            “Itu hidung diapain kok dikasih cincin gitu? Jarinya dah nggak muat ya? Pantes.. kok dicantelin hidung” timpal Lintang. Mereka tertawa terbahak-bahak tidak melihat preman itu sudah naik pitam.

Tanpa basa-basi keempat preman itu penuh nafsu ingin menangkap tiga bocah brengsek ini. Doni, Ade, Lintang dengan gesit pergi berlari dan mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka lari berkejar-kejaran di sepanjang jalan desa. Ade mengarahkan preman itu ke kantor kepala desa. Lintang mengeluh kehabisan nafas, tetapi Dodi memaksakanya dan menyeretnya hingga kantor kepala desa.

Ade yang pertama sampai di kantor kepala desa langsung mencari pak kepala desa. Dikagetkanya pak kepdes yang sedang bersantai membaca koran.
            “Hehh kenapa kalian disini? Ngagetin saya saja.” tanya pak Danu, masih dengan wajah kaget.
            “Tolong kami pak tolong” pinta Lintang
Situasi semakin genting dan membingungkan ketika keempat preman yang mengejar sampai di kantor kepala desa. Lintang yang paling ketakutan sudah berlindung di belakang tubuh Pak Danu. Wajah Ade dan Dodi pun sudah pucat pasi.
            “Awas pak bocah nakal itu mau saya tangkap” bentak salah satu preman.
            “Aduh duh memang disini ada apa toh?” ujar Pak Danu sambil membenarkan kacamata tua nya.
            “Mereka melecehkan kami pak, saya tidak terima. Pokoknya bocah itu harus saya tangkap.”
Dengan tenang Pak Danu menatap Ade, Lintang, dan Dodi bergantian. Sambil berdehem akhirnya Pak Danu memutuskan untuk membahasnya di dalam kantor.
            “Agar situasi terkendali mari kita bicarakan di dalam saja”
Nasib ketiga anak itu sekarang ada di tangan Pak Danu.

Share:

1 komentar